23/11/2020 697 Readers
Direktur Utama Astra Agro, Santosa mengatakan digitalisasi sudah mulai diterapkan perusahaan sejak 2017. Namun, pandemi corona semakin mempercepat adopsi teknologi di seluruh lini operasional pabrik hingga perkebunan perseroan.
"Penggunaan komputerisasi sudah sejak lama, secara proses bisnis, perkebunan tidak se-sophisticated bisnis Astra yang lain. Sehingga pada 2017 kami mulai menginisiasi digital secara masif," kata Santosa dalam Markplus Industry Roundtable.
Menurutnya, ketika Covid-19 tidak memungkinkan perusahaan melakukan perjalanan, monitoring operasional pabrik dan kebun bisa dipantau langsung melalui operating center. Perangkat ini dikalim mampu menampilkan data-data harian kebun dan pabrik di seluruh wilayah operasi perusahaan mulai dari Aceh hingga Sulawesi.
"Dengan operation center di kantor pusat, seluruh data bisa kami respons saat itu juga. Dari 42 sites milik Astra Agro seluas 220.000 hektare kita bisa monitor," katanya.
Menurut Santosa, strategi aplikasi berbasis digital ke depan akan diperluas. Tak hanya untuk produksi, panen, angkut dan logistik, tapi juga untuk memantau aktivitas perawatan kebun yang selama ini masih menggunakan sistem konvensional dengan ratusan tenaga kerja.
"Melalui teknologi digitalisasi ini, kami bisa melakukan pekerjaan tracking, standarisasi based on data. Dan kami lagi mengembagkan mechine learning. Sehingga ke depan, semua bisnis kami bisa menggunakan data analitics," ujarnya.
Teknologi Efisien
Penggunaan teknologi digital dan data analitic diharapkan membuat operasional perusahaan semakin efisien.
Jika sebelumnya untuk pengambilan keputusan, perseroan harus menunggu data terkumpul hingga closing. Saat ini, semua data diperoleh secara realtime. Contohnya di pabrik, melalui alat mills excellent indicator, setiap supervisor tak perlu datang ke masing-masing station guna memastikan semua indikator mesin berjalan baik. Teknologi internet of thing (IoT) juga mempermudah sistem pemantauan output produksi minyak sawit perseroan.
"Saat ini kami ada sekitar 200 ribu ton kapasitas dengan puluhan tangki yang terpasang sensor IoT," ujarnya.
Namun demikian, dia enggan merinci besaran investasi yang dianggarkan untuk pengadaan perangkat teknologi di perusahaan. Anggaran digitalisasi menurutnya dilakukan berdasarkan proyek dengan tingkat pengembalian modal maksimal 5 tahun.
Kunci lain mempercepat adopsi teknologi ini juga menurutnya bergantung pada kemampuan adaptasi manajemen. Sehingga seluruh pekerja bisa beradaptasi dengan teknologi dan tidak melihatnya sebagai momok menakutkan.
Di bidang pemasaran, perusahaan juga menerapkan strategi digital marketing, seperti melalui tender elektronik (e-tender) di masa pandemi.
"Sedangkan untuk penetrasi global, kami mendukung penuh sustainability melalui adopsi sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) untuk menangkal hambatan dagang sawit," katanya.
Sertifikasi ISPO
Bukan rahasia umum, ekspor sawit Indonesia dan negara produsen lain kerap menghadapi hambatan di pasar global. Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) memblokir seluruh ekspor minyak sawit milik perusahaan asal Malaysia FGV Holding Bhd dan anak usaha terkait dugaan kerja paksa.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono khawatir anggapan tersebut tersebut digeneralisir ke seluruh perusahaan sawit dan digunakan pihak tertentu untuk menyudutkan komoditas sawit. Untuk menghalau tudingan ini, perusahaan harus memiliki sertifikasi berkelanjutan atau ISPO.
"Perusahaan yang sudah tersertifikasi ISPO tidak perlu dipertanyakan lagi praktek manajemen ketenagakerjaannya," kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono di Jakarta.
Data Sekretariat ISPO menunjukkan, hingga 10 Maret 2020, lahan sawit yang telah tersertifikasi mencapai 5,45 juta hektare atau 33,27% dari total areal sawit. Sementara jumlah sertifikat ISPO yang sudah diterbitkan mencapai 621 terdiri dari 607 perusahaan, 10 koperasi swadaya, dan 4 Koperasi Unit Desa plasma.