08/06/2021 1.150 Readers
"Kita tahu sendiri eksportir minyak sawit dunia kita lihat ada lima ekspor terbesar, kita menempati rangking pertama dengan jumlah 37,3 juta ton," ujar Direktur Industri Hasil Hutan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Perindustrian, Emil Satria dalam diskusi Masa Depan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Menuju Pengakuan Internasional, Senin (7/6).
Di bawah Indonesia ada Malaysia yang menempati posisi ke dua eksportir terbesar. Malaysia mencatat telah melakukan ekspor sebanyak 19,3 juta ton dengan market share global kurang lebih 30 persen.
"Selanjutnya diikuti oleh Malaysia, Thailand Kolombia, Nigeria dan negara-negara lain," jelasnya.
Emil mengatakan pencapaian terbesar tersebut tidak lepas dari potensi lahan yang sawit yang demikian besar di Tanah Air. Pada 2020 saja luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare area (Ha) dengan 26 provinsi penghasil. Adapun produksinya di tahun 2020 lebih kurang 47,40 juta ton.
Sawit sendiri merupakan industri padat karya menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 4,2 juta orang, dan tenaga kerja tidak langsung sebesar 12 juta orang dari hulu hingga hilir. Minyak kelapa sawit juga menjadi pendorong ketahanan energi nasional dalam program mandatory biodisel 30 persen (B30) yang telah tersalurkan 8,7 juta KL.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi mengatakan, sebanyak 70 persen produk sawit Indonesia sudah dipasarkan di dunia.
Hal ini tentu sejalan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
"Saat ini sebanyak 70 persen produk sawit Indonesia sudah dipasarkan di pasar dunia," ujarnya.
Dia mengatakan kinerja kelapa sawit yang cukup bagus tersebut harus dijaga dan ditingkatkan lagi daya saingnya di pasar dunia, agar semakin baik. Oleh karenanya tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus terus tingkatkan dan diperkuat melalui regulasi sertifikasi ISPO.
Berdasarkan catatan Kementan hingga 31 Desember 2020 lalu terbit sebanyak 750 sertifikat ISPO. Di mana sebanyak 735 sertifikat diberikan kepada perusahaan PTPN dan swasta. Sementara sisanya diberikan bagi para pekebun sawit.
Dia menambahkan, di tengah pelambatan ekonomi sektor pertanian pada 2020 masih tumbuh positif sebesar 1,75 persen. Dimana kepala sawit menjadi salah satu kontributor utama yang masih memberikan sumbangsih terhadap PDB Indonesia.
"Pada tahun 2020 kinerja nya untuk ekspor meningkat naik 13,6 persen nilainya. Tentu ini sesuatu hal yang membanggakan bagi kita semuanya," tandasnya.
Free Trade Association Comprehensive Economic
Secara terpisah, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengapresiasi negara-negara EFTA yang telah menandatangani perjanjian ekonomi komprehensif Indonesia-EFTA CEPA.
Menurut Wamendag itu merupakan peluang yang sangat positif, termasuk dalam kaitannya dengan penerimaan produk kelapa sawit Indonesia. Seperti diketahui, kelapa sawit Indonesia telah diperlakukan berbeda dengan produk minyak nabati lainnya di kawasan Uni Eropa.
Wamendag menilai bahwa penerimaan EFTA terhadap produk kelapa sawit Indonesia ini menunjukkan bahwa resistensi sebenarnya tidak dilakukan oleh semua negara Eropa. Bahkan di Uni Eropa hanya beberapa negara saja yang kebetulan punya pengaruh di parlemen yang menghambat perdagangan kelapa sawit Indonesia di Kawasan itu.
“Empat negara tersebut, yaitu Lietchtenstein, Swiss, Norwegia dan Islandia menambah deretan negara-negara Eropa yang sebenarnya menerima kelapa sawit kita. Kalau kita bertemu dengan pemerintah maupun parlemen di banyak negara Eropa sebenarnya memang menunjukkan sambutan yang positif,” kata Wamendag.
Melihat kecenderungan itu, Wamendag makin optimis dengan arah perjuangan Indonesia untuk menghapus diksriminasi ini. Pada intinya menurut Jerry, negara-negara Uni Eropa harus melihat persoalan sawit dengan obyektif dan proporsional. Kebutuhan minyak nabati semakin besar di seluruh dunia. Tidak semua sumber minyak nabati bisa memenuhi kebutuhan dengan efisien seperti kelapa sawit.
“Dilihat secara relative dan obyektif. Kalau kita menanam sumber minyak nabati lain seperti rapeseed, sebenarnya kebutuhan lahan dan dampak ekologisnya 6 kali lebih besar dari kelapa sawit. Jadi secara ekologis dan ekonomi tidak efisien. Justru kelapa sawit menjadi solusi yang tepat untuk itu,” papar Wamendag.