22/11/2020 547 Readers
Seperti diketahui, kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar. Bahkan, pada tahun 2017, komoditas ini memberi devisa sebesar US$ 23 miliar atau setara Rp 300 triliun.
"Diskriminasi beberapa negara terhadap sawit Indonesia. Indonesia selalu mengedepankan kerja sama dan kolaborasi dengan mitra-mitra kita, tapi terkait kepentingan nasional, kita harus tegas apalagi sudah masalah prinsip," katanya dalam Jakarta Food Security Summit 2020, Kamis (19/11/2020).
Penyataan tersebut tidak lepas dari hadangan, termasuk kampanye negatif oleh berbagai negara. Retno mengakui yang paling gencar adalah Uni Eropa.
Di sisi lain, ia tidak ingin kerjasama yang selama ini sudah terjadil dengan negara benua biru ternodai. Retno bahkan coba menjalin komunikasi dengan pejabat terkait melalui sambungan telpon dalam beberapa hari terakhir.
"Uni Eropa sudah lama menjadi natural partner kta. Kita memiliki banyak pandang di banyak isu internasional dengan Uni Eropa. Beberapa hari lalu saya lakukan pembicaraan telpon dengan High Representative/Vice President Komisi Eropa, seperti Menlu Uni eropa Joseph Borrel, saya sampaikan mengenai pentingnya kemitraan yang lebih kuat dan menyelesaikan isu diskriminasi terhadap sawit Indonesia," paparnya.
Retno menyebut Indonesia selalu terbuka dengan komunikasi. Namun, bukan berarti itu RI lemah dan mudah dikalahkan oleh hal yang bersifat prinsip.
"Yang kita inginkan satu, treat us fairly," sebut Retno.
"Kita tentunya ngga berhenti di kelapa sawit saja, tapi kita sepenuhnya mendukung dan terus mengawal berbagai komoditi unggulan lain Indonesia, seperti teh kopi dan lain-lain karena diplomasi Indonesia tidak ingin tinggal diam dan akan terus berdiri untuk tegak membela kepentingan nasional kita," lanjutnya.
Sebelumnya 'serangan' ke sawit dilancarkan Eropa dengan regulasi "Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa beserta aturan teknisnya (delegated act).
Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi pada lingkungan akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. Kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC.
Laporan diskriminasi
Sementara itu terbaru Media Amerika Serikat (AS) Associated Press (AP) membuat laporan khusus tentang perkebunan sawit Asia Tenggara khususnya RI dan Malaysia.
Dalam laporannya yang terbit Rabu (18/11/2020), AP menulis 'perlakuan brutal' yang terjadi dalam produksi minyak sawit terhadap pekerja perempuan.
Perkebunan sawit disebut melakukan pelecehan seksual mulai dari verbal, ancaman hingga pemerkosaan. Termasuk dugaan perdagangan manusia, pekerja anak dan perbudakan langsung.
"Wanita dibebani dengan beberapa pekerjaan yang sulit dan berbahaya di industri," tulis media tersebut, mengutip lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat Indonesia Sawit Watch.
"Wanita dibebani dengan beberapa pekerjaan yang paling sulit dan berbahaya di industri."
"Banyak yang dipekerjakan oleh subkontraktor setiap hari tanpa tunjangan, melakukan pekerjaan yang sama untuk perusahaan yang sama selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Mereka sering bekerja tanpa bayaran untuk membantu suami mereka memenuhi kuota harian yang tidak mungkin dilakukan."
AP mengaku telah mewawancarai 36 perempuan di sejumlah perusahaan Indonesia dan Malaysia. Media itu juga mengatakan mewawancarai hampir 200 pekerja, aktivis, pejabat pemerintah dan pengacara.